Foto: Getty Images/iStockphoto/RossiAgung
Jakarta—Ada rumor di media sosial yang mengatakan bahwa cuaca dingin di Indonesia belakangan ini disebabkan oleh jarak bumi dengan matahari saat periode revolusi, atau Aphelion, saat posisi matahari berada pada jarak terjauh dari bumi.
Lantas, bagaimana faktanya?
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa suhu dingin yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia tidak berhubungan dengan fenomena astronomis Aphelion.
Dia menyatakan bahwa fenomena suhu udara dingin sebenarnya merupakan fenomena alami yang biasa terjadi selama bulan-bulan puncak musim kemarau, yaitu dari Juni hingga September.
“Tidak ada hubungannya dengan fenomena Aphelion,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Selasa (17/72024).
Kondisi suhu dingin ini disebabkan oleh Angin Monsun Australia yang bertiup menuju Benua Asia melewati Wilayah Indonesia dan perairan Samudera Hindia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih rendah (dingin).
Hal inilah yang memicu suhu beberapa wilayah di Indonesia, terutama bagian selatan khatulistiwa, seperti Jawa Bali dan Nusa Tenggara terasa lebih dingin.
Karena tidak ada uap air dan air, energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer. Selain dampak angin muson Australia, Dwikorita menjelaskan bahwa berkurangnya tutupan awan dan intensitas hujan juga berkontribusi pada suhu dingin yang dirasakan pada malam hari.
Selain itu, dia menambahkan, “Puncak musim kemarau, yang diprediksi lada bulan Juli hingga Agustus, akan mengalami suhu terdingin.”
Sumber Detik.com