Ilustrasi laki-laki(freepik.com)
Jakarta – Kredit atau pinjaman biasanya diberikan untuk tujuan tertentu, seperti menyambung kehidupan, membeli rumah, atau kendaraan baru. Namun, pengguna kredit sering mengalami stres dan mengalami gangguan kesehatan mental.
Dilansir dari Tim Jurnalisme Data Harian Kompas Albertus Krisna, Kompas mengolah data BPS yang menunjukkan tingkat gangguan mental berdasarkan jenis kredit.
“Di data BPS ada beberapa jenis kredit yang ditanyakan kepada setiap responden apakah dalam beberapa waktu menerima kredit, pinjol, leasing, pegadain, atau kredit lainnya,” ujarnya dalam acara Kompas Editor’s Talks: Apakah Masyarakat Indonesia Sudah Cukup Siap Mental? pada Jumat (23/8/2024).
Dari Data Mikro Susenas BPS Maret 2022 yang diolah oleh Tim Jurnalisme Harian Kompas didapatkan, bahwa tingkat gangguan kesehatan mental berdasarkan jenis kredit adalah sebagai berikut:
- Pinjaman daring (pinjol) = 59,7%
- Kredit perusahaan leasing = 30,3%
- Pegadaian 29,6%
- Kredit badan usaha milik desa (BUMDes) = 28,4%
- Kredit usaha rakyat (KUR) = 25,2%
- Kredit bank perkreditan rakyat (BPR) = 24,3%
- Kredit koperasi = 24,0%
- Kredit perorangan dengan bunga = 22,0%
- Kredit bank umum = 20,2%
Dari data tersebut, terlihat bahwa jenis kredit yang paling banyak menyebabkan gangguan kesehatan mental adalah pinjaman daring atau pinjol (pinjaman online). Lebih dari setengah pengguna pinjol mengalami gangguan kesehatan mental.
Ini sangat berbeda dari jenis pinjaman lainnya, karena persentase gangguan kesehatan mental tidak lebih dari 30% pada jenis pinjaman lainnya.
“Dari narsum yang kita wawancarai sebagian besar merasa stres, karena teror dari debt collector,” ujar Krisna.
Jika peminjam gagal membayar, penagih hutang akan langsung menagih peminjam dan keluarganya.
“Debt collector bahkan datang ke rumah ibunya lebih dari seminggu sekali. Bikin malu dan membuat tidak tenang hatinya,” ujarnya.
Debt collectors sering menyerang keluarga, teman, dan bahkan semua kontak peminjam.
Peminjam sering mengalami tekanan karena hutang yang belum terbayar, bunga yang terus meningkat, dan ketakutan akan debt collector. Peminjam sering mengalami gangguan mental lain hingga memutuskan bunuh diri. Jadi, siapa saja yang menggunakan pinjol?
“Dalam data tersebut ada kelompok keluarga miskin, keluarga menengah, dan keluarga kaya. Nyatanya yang banyak mengambil pinjol adalah keluarga kelas menengah,” ungkap Krisna.
Dari 524.953 pasien yang menderita pinjol, sekitar 45,2% berasal dari keluarga menengah.
Artinya, lebih dari 50% pengguna pinjol berasal dari masyarakat kelas menengah, yang tidak terlalu membutuhkan pinjaman ini.
Namun, 22,1% orang adalah masyarakat kelas atas, dan 32,7% adalah masyarakat kelas bawah.
“Itu menjadi menarik, karena sebenarnya mereka ini ada kesempatan untuk bisa mengakses ekonomi yang lebih bagus, tetapi malah mengambil pinjol,” ujar Krisna.
Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental yang dialami oleh pengguna pinjol memerlukan perhatian serius dan pendekatan multifaset untuk penanganannya, melibatkan baik dukungan langsung kepada individu maupun perbaikan sistemik dalam praktik pinjaman online.
Sumber Berita Kompas.com