Sosok Bashar al-Assad, Presiden Suriah Bertangan Besi Setelah 50 Tahun Lebih Berkuasa Dinastinya Runtuh - Inside Berita

Sosok Bashar al-Assad, Presiden Suriah Bertangan Besi Setelah 50 Tahun Lebih Berkuasa Dinastinya Runtuh

Presiden Suriah, Bashar Al-Assad Sumber : The Financial Express

Jakarta – Ketika pasukan pemberontak atau oposisi melancarkan serangan ke ibu kota Suriah, Damaskus, mereka mengumumkan bahwa negara tersebut telah terbebas dari kekuasaan Presiden Bashar al-Assad. Pengumuman ini menandai momen penting dalam perjalanan konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.

Pada hari Minggu, 8 Desember 2024, pemberontak berhasil merebut kendali atas Damaskus, memaksa Presiden Bashar al-Assad untuk segera meninggalkan bandara. Kejadian ini menandakan perubahan signifikan dalam dinamika politik Suriah dan menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan kepemimpinan di negara tersebut.

“Kami mendeklarasikan kota Damaskus terbebas dari tiran Bashar al-Assad,” kata komandan senior kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Hassan Abdul-Ghani dikutip Al Jazeera.

Runtuhnya kekuasaan dinasti al-Assad terjadi dengan cara yang mengejutkan setelah lebih dari 53 tahun berkuasa. Selama hampir 14 tahun, warga Suriah melakukan protes damai menentang pemerintah, namun direspons dengan kekerasan, yang akhirnya berujung pada perang saudara yang sangat berdarah.

Menurut laporan dari kantor berita Rusia, RIA Novosti dan TASS, Presiden Bashar al-Assad kini telah mengungsi ke Moskow, ibukota Rusia. Perpindahan ini menandakan perubahan drastis dalam situasi politik Suriah dan menggambarkan betapa rapuhnya posisi Assad setelah bertahun-tahun konflik.

“Assad, bersama dengan anggota keluarganya, telah tiba di Moskow. Rusia memberi mereka suaka atas dasar kemanusiaan,” kata seorang sumber dilansir dari media Rusia.

Bashar al-Assad, pemimpin Suriah, merupakan bagian dari generasi kedua dari dinasti otokratis yang telah berkuasa lebih dari lima dekade. Ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang otoriter dan bertangan besi, yang memerintah dengan cara yang sangat keras dan represif.

Sejak dimulainya perang saudara pada tahun 2011, Assad telah digambarkan sebagai kepala pemerintahan yang brutal, yang tidak hanya menghancurkan negara, tetapi juga menciptakan kondisi yang memungkinkan kelompok ekstremis seperti ISIS berkembang. Situasi ini menggambarkan dampak langsung dari kebijakan represifnya terhadap rakyat.

Perang ini dimulai setelah rezim Assad menolak untuk merespons demonstrasi massal pro-demokrasi yang terjadi selama Musim Semi Arab. Sebaliknya, ia memilih untuk menanggapi dengan kekerasan, yang mengakibatkan kematian ribuan orang dalam beberapa bulan pertama demonstrasi damai tersebut.

Pendukung pemerintahan Assad telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan melancarkan serangan brutal terhadap warga sipil selama konflik yang telah berlangsung selama tiga belas tahun. Tuduhan ini termasuk penggunaan senjata kimia terhadap masyarakat sipil. Sejak awal perang, negara-negara seperti AS, Yordania, Turki, dan Uni Eropa secara bersamaan mendesak Assad untuk menghentikan tindakannya.

Bashar al-Assad mulai menjabat sebagai pemimpin setelah mengambil alih kekuasaan pada tahun 2000 melalui pemilihan umum yang tidak memiliki pesaing, menyusul kematian ayahnya, Hafez al-Assad. Hafez al-Assad, yang berasal dari latar belakang kemiskinan, berhasil menduduki posisi puncak di Partai Baath.

Keluarga Assad telah berkuasa sejak tahun 1970, ketika ayahnya, yang merupakan sekutu Soviet, mulai memimpin Suriah selama tiga dekade. Selama masa pemerintahannya, Hafez al-Assad memberikan posisi penting kepada anggota komunitas minoritas Alawite dalam struktur politik, sosial, dan militer, memperkuat dominasi keluarganya dalam pemerintahan.

Bashar al-Assad menempuh pendidikan militer dan berhasil meraih pangkat kolonel di tentara Suriah, melanjutkan jejak ayahnya sebagai penerus dinasti yang berkuasa. Selama awal masa kepresidenannya, ia mempertahankan hubungan yang erat dengan kelompok-kelompok militan seperti Hamas dan Hizbullah, yang telah menjadi sekutu strategis bagi rezimnya.

Namun, situasi mulai berubah drastis ketika rezim Assad menghadapi gerakan pro-demokrasi pada tahun 2011 dengan tindakan kekerasan. Reaksi keras ini membuat banyak pihak, termasuk kelompok-kelompok yang sebelumnya mendukungnya, langsung mengecam tindakan brutal yang diambil oleh pemerintahnya.

Selama konflik bersenjata, pasukan Assad terkenal dengan taktik kejam yang diterapkan terhadap para demonstran selama protes pro-demokrasi. Saat milisi kecil dan sejumlah pembelot dari tentara Suriah bersatu untuk membentuk oposisi bersenjata, kekerasan semakin meningkat dan menciptakan suasana yang mencekam di seluruh negeri.

Menurut laporan PBB awal tahun ini, lebih dari 7 juta orang telah mengungsi akibat konflik brutal yang dipimpin oleh Assad, yang telah mengakibatkan kematian ratusan ribu orang di dalam negeri dan lebih dari 6 juta pengungsi internasional. Situasi ini menunjukkan dampak besar dari perang yang berkepanjangan, yang menimbulkan krisis kemanusiaan yang serius.

( sumber : viva.co.id )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *