MaTA Duga Pengadaan Makan Atlet Di Aceh Di-Mark Up, Nasi Rp 50.900 Per Porsi - Inside Berita

MaTA Duga Pengadaan Makan Atlet Di Aceh Di-Mark Up, Nasi Rp 50.900 Per Porsi

Tangkapan layar makanan PON yang viral (Foto: TikTok/hadi_hfc)

Jakarta – Penyediaan makanan bagi atlet dan kontingen dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI menjadi sorotan publik. Selain adanya masalah dalam penyaluran yang tidak tepat waktu, banyak yang menilai bahwa menu yang disediakan kurang memenuhi standar kelayakan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kenyamanan dan kesehatan para atlet yang berkompetisi.

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mengungkapkan bahwa menurut kontrak, harga satuan makanan untuk atlet ditetapkan sebesar Rp 50.900 per porsi, dengan total anggaran mencapai Rp 30,8 miliar. Sementara itu, untuk snack, harga satuan ditetapkan sebesar Rp 18.900 per porsi, dengan total anggaran mencapai Rp 11,4 miliar. Angka-angka ini menunjukkan besarnya dana yang dialokasikan, namun kualitas makanan masih menjadi pertanyaan besar.

Dengan sejumlah masalah yang muncul terkait penyediaan makanan ini, diharapkan pihak penyelenggara dapat segera melakukan evaluasi dan perbaikan. Kesehatan dan kesejahteraan atlet harus menjadi prioritas utama, agar mereka dapat berkompetisi dengan baik dan memberikan performa terbaik di ajang bergengsi ini.

“Total anggaran itu Rp 42 miliar. Kalau kita lihat fakta di lapangan potensi mark up harga sudah terjadi sejak di-perencanaan. Mark up harganya besar dalam konteks tidak pidana korupsi. Kalau kita lihat fakta di lapangan nasi yang disediakan dan snack itu standar harga di Aceh,” kata Alfian saat dikutip dari detikSumut, Rabu (11/9/2024).

Menurut Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), harga snack standar di Aceh seharusnya berkisar Rp 10 ribu, sementara untuk nasi standar ditetapkan sekitar Rp 30 ribu per porsi. Namun, dalam penyediaan makanan untuk atlet PON XXI, harga yang ditawarkan jauh melampaui standar tersebut, menimbulkan pertanyaan mengenai pengelolaan anggaran.

Lebih lanjut, Alfian menyoroti bahwa tidak hanya soal harga, tetapi juga masalah ketepatan waktu penyaluran makanan yang dianggap tidak sesuai dengan kesepakatan yang tertera dalam kontrak. Nasi yang seharusnya disajikan tepat waktu untuk mendukung performa atlet justru datang terlambat, yang berpotensi mengganggu persiapan mereka sebelum bertanding.

“Belum lagi kita temukan nasi basi, sayur berulat, belum lagi tidak tepat waktu,” ujarnya.

Anggaran untuk pengadaan konsumsi dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Dalam konteks ini, Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), mengungkapkan harapannya agar Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh melakukan audit investigasi terhadap anggaran yang cukup besar ini.

Alfian menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran publik, terutama ketika terkait dengan kebutuhan atlet yang berkompetisi. Dengan adanya audit, diharapkan dapat terungkap apakah dana tersebut telah digunakan secara efisien dan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Audit ini diharapkan tidak hanya menjawab pertanyaan terkait penggunaan anggaran, tetapi juga memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa setiap dana yang dialokasikan benar-benar bermanfaat bagi atlet dan mendukung kesuksesan mereka di PON.

“Kalau dari sisi satuan harga nasi, satuan harga snack jelas terjadi mark up, diproses perencanaan sudah terjadi mark up. Termasuk dikontrak sudah jelas kemahalan harganya baik dari sisi pengadaan makanan maupun snack,” jelasnya.

Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), menegaskan pentingnya tidak hanya fokus pada dugaan korupsi dalam pengadaan konsumsi untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI, tetapi juga meneliti apakah dana tersebut mengalir ke kegiatan politik, khususnya menjelang Pilkada. Hal ini menjadi perhatian karena keterkaitan antara anggaran publik dan kepentingan politik dapat mempengaruhi pengelolaan dana tersebut.

Lebih lanjut, Alfian mengungkapkan bahwa perusahaan yang memenangkan tender untuk pengadaan konsumsi beralamat di Jakarta. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kepatuhan dan transparansi dalam proses pengadaan, serta dampaknya terhadap perekonomian lokal.

Dengan memeriksa aliran dana ini, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami bagaimana anggaran digunakan dan memastikan bahwa setiap dana yang dialokasikan benar-benar bermanfaat untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan politik semata.

“Sistem tender juga aneh karena dengan dimasukin ke e-katalog tinggal tunjuk. Makanya perusahaan pengadaannya itu perusahaannya ada di Jakarta, tapi aktor-aktornya ada di Aceh,” ujar Alfian.

( Sumber : detiksumut )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *